PERSAMAAN ORANG BAWEAN DENGAN ORANG MALAYSIA
Apa hubungan keduanya? Selama hampir delapan bulan di
Bawean, yang kulihat adalah Bawean lebih punya ikatan ekonomi dan emosional
dengan Malaysia daripada Indonesia. Walaupun pulau ini bukan berada di daerah
perbatasan, ketika berbahasa Indonesia, sebagian orang logatnya lebih mirip
logat Bahasa Melayu. Pakaian sehari-hari mereka baju kurung, seperti halnya di
Malaysia. Selain itu, mereka lebih familiar dengan tempat bernama Malaysia atau
kota bernama Kuala Lumpur daripada Jakarta. Bahkan murid-muridku di awal
kedatanganku banyak yang belum tahu bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia.
Ketika anak-anak memasuki usia remaja dan akan bekerja, maka
yang pertama kali muncul di benak mereka adalah Malaysia. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa sudah beberapa generasi orang Bawean bekerja di Malaysia.
Banyak pula yang kemudian menikah, punya anak, dan meninggal dunia di sana.
Salah seorang tetanggaku yang sedang cuti bekerja dari Malaysia mengklaim bahwa
konon orang Bawean adalah yang paling dahulu bekerja ke Malaysia dibandingkan
TKI dari daerah lain.
Anak yang lahir di Malaysia katanya berhak punya IC (mereka
mengucapkan ‘aisi’, mungkin singkatan dariIdentity Card). IC bisa diambil
ketika si anak berusia belasan tahun, aku lupa tepatnya. Bulan Juli lalu
tetanggaku, usianya sekitar 14 tahun, pamit akan pergi ke Malaysia. “Mau ambil
aisi, Bu.” katanya riang.
Lalu apa keuntungannya? Mereka yang punya IC bisa bekerja di
Malaysia dengan bebas dan memeroleh gaji yang lebih besar daripada mereka yang
‘hanya’ mengantongi permit dan yang tidak punya izin sama sekali. Apalagi IC
berlaku seumur hidup, sedangkan permit harus diperbarui secara periodik dan
memakan biaya yang tidak sedikit.
Sebagian besar pemuda di dusunku menganggur. Menganggur
dalam artian tidak memiliki pekerjaan yang memberikan penghasilan tetap. Mereka
sendiri yang bilang, sehari-hari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk tidur, bersantai, jalan-jalan naik motor, dan bermain bola. Selain itu,
pekerjaan rutin mereka di antaranya ‘hanyalah’ mengurus sapi atau mencari kayu.
Saat mereka hendak bekerja, maka secara umum pilihannya ada
dua: bekerja sebagai TKI di Malaysia (dan sebagian di Singapura) atau menjadi
pekerja kapal. Sewaktu aku bertanya, “Tidak mau cari kerja ke Jawa?” Sebagian
dari mereka tertawa dan menjawab, “Ada kerja apa di Jawa, Bu? Orang Jawa saja
cari kerja ke Bawean.” Jleb! Memang betul, itu yang mereka tahu. Penjual
makanan di sekitar pasar, penjual bakso keliling, penjual perabot rumah tangga
keliling (baskom, ember, gayung, dll), mereka adalah orang dari Jawa, khususnya
Jawa Timur.
Memang tidak bisa disalahkan kalau mereka lebih memiliki
rasa ke-Malaysia-an daripada ke-Indonesia-an. Toh selama ini Malaysia sudah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan taraf hidup orang
Bawean. Namun sedih juga mendengar mereka lebih membanggakan Malaysia daripada
Indonesia.
“Enak ya, Bu, kalau macam di Malaysia. Cari pekerjaan tak
sulit. Kalau orang yang pintar mau sekolah juga pasti dibiayai oleh kerajaan,”
Sebenarnya di Indonesia juga banyak beasiswa kan, Kawan?
Sayangnya tidak semua orang tahu atau mau mencari tahu. Mungkin ini masalah
akses informasi. Dan juga, Indonesia dan Malaysia tak bisa disamakan. Malaysia
itu wilayahnya lebih sempit dan penduduknya tidak se-heterogen di Indonesia.
Sedangkan Indonesia wilayanya luas, terpisah pula oleh lautan yang luas.
Yah…meskipun itu tak bisa sepenuhnya jadi excuse untuk pembangunan yang belum
benar-benar merata.
“Kalau di Malaysia, orang pintar pasti dapat pekerjaan ya.
Bu. Kalau di Indonesia katanya harus bayar-bayar dulu kalau mau kerja, misalnya
jadi polisi.”
Sungguh sakit hatiku mendengar pernyataan-pernyataan itu
yang sebagian memang ada benarnya. Ini baru di Bawean. Bagaimana dengan
wilayah-wilayah lain, khususnya wilayah perbatasan? Rasa ke-Indonesia-an mahal
harganya. Harga itulah yang harus dibayar oleh pemerintah atas pengabaian
terhadap banyak sekali wilayah di Indonesia. Jangan sampai marah-marah hanya
ketika wilayah kita dicaplok orang.
Lagi-lagi ini adalah pilihan. Apakah, sebagai
individu-individu, kita juga akan ikut peduli?
-Ditulis oleh: Maisya Farhati
Tiada ulasan:
Catat Ulasan