bule anakna oreng phebien . ORANG BAWEAN SINGAPURA - Kuduk-Kuduk Channels
Home » » ORANG BAWEAN SINGAPURA

ORANG BAWEAN SINGAPURA

Written By Unknown on Jumaat, 30 November 2012 | 5:45 PTG

ORANG BAWEAN SINGAPURA


Apa itu “Boyan”?


Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti “boyan” kepada saya. Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah “Boyan” itu? Dijelaskannya bahwa “Boyan” adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana “Bawean” bisa menjadi “Boyan”? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu (sebagian orang menyebutnya ‘korupsi kata’). Nama “bawean” sendiri diberikan oleh orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti “matahari terbit”. Karena orang Bawean (atau Madura) mengganti huruf “w” menjadi “b” maka kadangkala Bawean ini disebut Bebien (“e” dibaca seperti ‘benar’).
Ketika kecil, sewaktu saya masih tinggal di Probolinggo, sebuah kota 100 km di timur Surabaya, nenek saya kadang bercerita mengenai pulau-pulau di utara Jawa, seperti pulau Gili, kepulauan Karimun Jawa, pulau Bawean dan lainnya. Baginya, beberapa pulau ini adalah tempat ziarah ke makam-makam kyai (seorang pemuka muslim yang biasanya memiliki pesantren atau perguruan agama). Kyai yang terkenal di Bawean adalah almarhum Kyai Maulana Umar Mas’ud. Pada awal 80an itu, pulau-pulau kecil ini masih tak memiliki listrik yang memadai. Listrik hanya dinyalakan pada jam-jam tertentu dan di tempat tertentu, karena listrik dibangkitkan oleh mesin diesel.
Pulau Bawean masuk ke dalam kabupaten Gresik tahun 1974; sebelumnya, pulau Bawean masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal express (ferry) selama 3 – 6 jam. Pulau Bawean sedikit lebih luas daripada pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah 65000. Pulau ini dibagi menjadi dua kecamatan (district), yaitu Sangkapura dan Tambak. Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patarselamat, Gunungteguh, Sungairujing, Baliktetus, Daun, Kebunteluk Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakittimur, Pudakitbarat, Komalasa, Suwari dan Deka-Tagung. Sedangkan, Kecamatan Tambak meliputi 14 desa, yaitu Desa Tambak, Telukjati, Dedawang (Dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk, Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuhteluk dan Kepuhlegundi.


Bahasa Bawean
Seorang kawan dekat di Singapura kebetulan keturunan Bawean, dan ayahnya pernah memiliki band yang tersohor di tahun 1950-60an, namanya “La Obe”. Suatu hari saya ingin tahu apakah bahasa Bawean ini lebih mirip bahasa Jawa, bahasa Madura, atau campuran keduanya. Saya bertanya dalam bahasa Madura, dan ayahnya membalas dalam bahasa Bawean. Ternyata bahasa Bawean ini mirip sekali dengan bahasa Madura! Tingkat kemiripannya barangkali lebih tinggi dibanding Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Diceritakannya bahwa orang-orang Bawean yang datang ke Singapura dulunya berpencaharian sebagai ahli agama, guru silat dan pedagang “ilmu”. Menurut sejarah, memang benar bahwa kesenian yang paling menonjol di Bawean adalah kesenian pencak silat. Hingga kini, kesenian ini masih dilestarikan.


Merantau
Secara historis, mayoritas masyarakat Bawean adalah nelayan. Dari pekerjaan ini, jiwa mereka secara praktis adalah perantau, yang berhari-hari berlayar, kemudian pulang sambil membawa uang hasil penjualan ikan. Jiwa merantau dan berdagang ini menjadi turun-temurun dan menentukan garis hidup keturunan mereka juga. Setiap lelaki di pulau Bawean dirasa “wajib” untuk merantau, meski mereka telah menikah.


Orang Bawean di Singapura
Dalam artikel yang cukup komprehensif, The Baweanese (Boyanese), yang ditulis oleh Nor Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, sensus penduduk pertama kali mencatat adanya orang Bawean tahun 1849. Antara tahun 1901 – 1911, populasi orang Bawean di Singapura makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pajak yang terlampau tinggi yang dikenakan Belanda kepada inlander (penduduk asli) di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Di tahun-tahun itu, dicatat bahwa ada dua perusahaan transportasi yang melayani migrasi penduduk dari Bawean ke Singapura, yaitu Dutch Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Belanda) dan Heap Eng Moh Shipping Company (Singapura). Populasi orang Bawean makin meningkat ketika pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945 karena penjajahan ini menyebabkan kelaparan dan kemiskinan yang parah. Setelah 1945, arus masuk imigran diperketat di Singapura dan Malaysia. Sebagian orang Bawean berbelok ke Tanjung Pinang dan Riau.
Ketika Inggris membangun pacuan kuda tahun 1842, mereka menyewa orang-orang Bawean sebagai pekerja konstruksi untuk membangun Race Course lama, atau Turf City masa kini. Karena berbakat melatih kuda, orang Bawean akhirnya dipekerjakan sebagai pelatih kuda pacuan. Sebagian dari mereka tetap bekerja sebagai pelayar (seamen). Namun ada pula yang bekerja sebagai sopir untuk tuans dan mems, perawat kebun, pegawai pelabuhan dan sopir bullock-cart.
Antara tahun 1840an hingga 1950an, orang Bawean banyak yang bermukim di Kampong Boyan (kini bernama Kampong Kapor). Mereka membangun pondok (ponthuk, dalam bahasa Bawean) sebuah rumah yang digunakan untuk bersosialisasi dan tempat menampung pendatang Bawean yang baru. Komunitas ini dipimpin oleh Pak Lurah. Secara literal, Pak Lurah berarti kepala kampung atau kepala desa (the chief of the village). Istilah ini sekarang masih dipakai secara luas di Indonesia.
Banyak dari masyarakat Bawean di Singapura akhirnya menikah dengan etnis lain seperti Melayu, Jawa, Bugis dan lainnya. Peleburan ini menyebabkan identitas keturunan mereka secara praktis disebut “Melayu”. Namun, ada juga yang masih menggunakan garis etnis ayah, sehingga tetap beretnis “Boyan”. Seperti halnya keturunan Jawa di Singapura, sedikit sekali generasi muda Boyan yang menguasai bahasa Bawean, atau Madura. Sebagian dari mereka cukup mengenal beberapa kata, atau mengerti sedikit beberapa kalimat. Hal ini cukup wajar, mengingat bahasa Bawean tidak dipakai sehari-hari di sini.
Generasi tua keturunan Bawean di Singapura kadang masih mengunjungi sanak saudara di pulau Bawean. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah artikel pribadi yang ditulis oleh generasi muda keturunan Bawean. Ia ingin sekali ke Bawean, meski hanya sekali seumur hidupnya. Sama halnya dengan bahasa, jika kultur Bawean ini mirip dengan Madura, maka setiap saudara itu adalah saudara dekat. Sehingga perlakuan mereka terhadap saudaranya (meski hubungannya jauh sekalipun) sangat-sangat akrab. Ini ciri khas orang Madura yang juga saya amati di pulau Jawa.-RNS







Share this article :

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

 
.
 KUDUK MEDIA KKC : Informasi komuniti bawean
© 2010 - 2015. Kuduk-Kuduk Channels - Hak Cipta Terpelihara
KHABAR ORANG BAWEAN
Hantar Maklumat [ keluar ]